Sedih, karena ibu pertiwi kini sedang merintih. Cukuplah jutaan penduduk yang menangis, mengerang mencari sesuap nasi yang menjadi saksi atas sakitnya bangsa ini. Dan cukuplah pula gundulnya hutan kalimantan, danau limbah di freeport dan lautan lumpur di sidoarjo yang menjadi saksi atas kehancuran bumi Allah yang amat indah ini.
Takut, karena sesugguhnya saya telah lalai. Kita telah lalai. Lalai dalam menjaga amanah besar yang telah Ia titipkan. Amanah besar kita sebagai khalifah fil 'ard yang terlahir di Indonesia. Apa yang sudah kita perbuat?
Di hari ketika mulut membisu dan hanya tangan dan kaki yang mampu berbicara, jawaban seperti apa yang harus kita utarakan atas reyotnya kapal besar yang dinakhodai oleh mayoritas penduduk Islam ini? Pertanggungjawaban macam apa yang harus kita uraikan atas keacuhan, kelalaian, dan bahkan keterlibatan kita dalam keterpurukan ini?
Namun air mata telah mengering. Lapangan KBRI di bawah terik matahari, serpihan daun-daun mahoni dan melodi ritmik burung gagak akan menjadi saksi bahwa negara ini masih memiliki harapan. Harapan untuk bangkit, berdiri tegak, dan menjadi bangsa yang betul-betul mencintai Allah, dan Allah pun mencintainya.
Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-63.
Singapura,
17 Agustus 2008
Yang bangga menjadi bagian kecil dari kebesaran Indonesia,
Radyum Ikono
3 comments:
Assalamu alaikum,, hore first comment :D
hoho pakabar no??
wah hebat juga ya.. kalo menyanyikannya di negeri sebrang baru bener-bener kerasa nasionalismenya..
kalo dah lulus dari NTU, jgn kelamaan mengabdi ma negara asing ye! hoho
hmm..
jauh dari rumah emang bisa ngbuat denger indonesia raya aja mengetuk kesadaran ya.. hehe
akan lebih luar biasa kalo apa yang ikono tulis disini dibuktikan dengan karya nyata, kembali membangun negara sekembali dari sana.. okey?
hehe,
hidup rakyat Indonesia..
-juno
jadi teringat sebuah nasyid.. Bangkitlah Negeriku harapan itu masih ada!
Post a Comment